Tok, Putusan MK kembali menjadi kontroversi!
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang selesai dibacakan pada Selasa, 20 Agustus 2024 Pukul 11.01 WIB menjadi potensi titik balik peta Pilkada 2024!
Konstelasi Pilkada yang sebelumnya diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Pilkada (UU Pilkada), yang mana ketentuan ini lah yang akan digunakan dalam Pilkada saat ini, dimana terdapat fitur ambang batas (threshold) pada pencalonan kepala daerah dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan ambang batas sedikitnya 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau sebesar 25% (dua puluh lima persen) akumulasi suara anggota legislatif daerah, berikut:
“Partai politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”
Yang berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (5) Peraturan KPU RI Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (PKPU Pilkada), mengatur bahwa suara partai politik yang digunakan untuk mengusung calon kepala daerah dalam kontestasi Pilkada tahun 2024 ini adalah suara hasil pemilihan legislatif tahun 2024, berikut:
“Perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada penetapan KPU atas hasil Pemilu anggota DPRD terakhir.”
Namun ketentuan di atas menjadi berubah dan mengalami pergeseran yang sangat signifikan dengan adanya pengujian Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora sejak 27 Juni 2024 (Putusan MK). Putusan yang dibacakan pada 20 Agustus 2024 ini mencuat dan potensi menjadi titik balik pada kontestasi Pilkada kali ini karena diputus pada detik-detik menjelang proses pendaftaran pasangan calon kepala daerah yakni pada 27 sampai 29 Agustus 2024.
Dalam Putusan MK ini merubah ketentuan dalam UU Pilkada dan PKPU Pilkada yang mana pada pokoknya Putusan MK ini menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan tersebut atau dalam kata lain Pilkada dapat dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan dalam Putusan MK tersebut.
Dalam ketentuan tersebut Partai politik untuk dapat mengusung calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, di daerah dengan:
Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai 2.000.000 dengan minimal 10% suara sah.
DPT 2.000.000 sampai 6.000.000 dengan minimal 8,5% suara sah.
DPT 6.000.000 sampai 12.000.000 dengan minimal 7,5% suara sah.
DPT lebih dari 12.000.000 dengan minimal 6,5% suara sah.
Partai politik untuk mengusung calon Bupati/ Walikota dan calon Wakil Bupati/ Wakil Walikota, di daerah dengan:
DPT sampai 250.000 dengan minimal 10% suara sah.
DPT 250.000 sampai 500.000 dengan minimal 8,5% suara sah.
DPT 500.000 sampai 1.000.000 dengan minimal 7,5% suara sah.
DPT lebih dari 1.000.000 dengan minimal 6,5% suara sah.
Dalam Putusan MK ini tidak terlepas dari adanya Alasan Berbeda (Concuring Opinion) dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang menguraikannya dalam 9 Point Alasan. Selain dari pada itu terdapat pula Pendapat Berbeda (Disenting Opinion) dari Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, yang diuraikan dalam 11 Point Pendapat dimana pada pokoknya berpendapat untuk menolak permohonan tersebut.
Dengan adanya Putusan MK tersebut, disatu sisi menunjukan adanya progresifitas hukum dalam pengaturan persyaratan pilkada dari yang sebelumnya hanya mengacu pada ambang batas perolehan suara partai politik di daerah (DPRD), kini menjadi mengacu pada ketentuan ambang batas suara partai politik di DPRD yang dielaborasi dengan ketentuan DPT. Namun hal tersebut tentunya tidak terlepas dari perdebatan bahwa Mahkamah Konstitusi kembali menjadi pembuat undang-undang (Positive Legislature) dalam memutus perkara tersebut dan juga persoalan apakah hal itu merupakan kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy) atau tidak?
Putusan MK ini tentunya akan berdampak cukup signifikan bagi beberapa daerah, misalnya saja Provinsi Sumatera Utara dengan DPT sebesar 10.853.940 suara pada tahun 2024, maka partai politik dapat mengusung calon Gubernur/ calon Wakil Gubernur dengan memiliki minimal 7,5% suara sah dalam pemilihan legislatif DPRD Provinsi Sumatera Utara di tahun 2024.
Kemudian selanjutnya Kota Pematangsiantar dengan DPT sebesar 202.206 suara pada tahun 2024, maka partai politik dapat mengusung calon Walikota/ calon Wakil Walikota dengan memiliki minimal 10% suara sah dalam pemilihan legislatif DPRD Kota Pematangsiantar di tahun 2024.
Sedangkan Kabupaten Simalungun dengan DPT sebesar 743.271 suara pada tahun 2024, maka partai politik dapat mengusung calon Bupati/ calon Wakil Bupati dengan memiliki minimal 7,5% suara sah dalam pemilihan legislatif DPRD Kabupaten Simalungun di tahun 2024.
Dengan ketentuan ini tentunya dapat berpotensi menjadi titik balik dari agenda-agenda partai politik dan calon kepala daerah yang mungkin sudah berjalan, dimana yang sebelumnya partai politik yang tidak memenuhi ambang batas 20% kursi DPRD tidak dapat mengusung calon kepala daerah, menjadi berpotensi dapat mengusung calon kepala daerah dengan memenuhi ketentuan memperoleh suara tertentu dengan elaborasi DPT di daerah sesuai Putusan MK tersebut.
Meskipun demikian, untuk menjalankan ketentuan ini KPU RI selaku penyelenggara memerlukan payung hukum untuk mengakomodir ketentuan-ketentuan dalam Putusan MK ini. Hal ini akan menjadi titik penentu juga, apakah Putusan MK ini akan digunakan untuk pilkada tahun 2024 ini atau nantinya akan digunakan untuk pilkada berikutnya?
Penulis:
Satriansyah Den Retno Wardana, S.H., M.H., CPM
Putra Kelahiran Pematangsiantar
Peneliti/Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Pematangsiantar 2018-2020
Ketua Umum Komunitas Penulis Hukum FH UMSU 2019-2020
Koordinator Presidium HAN/HTN Bersatu FH UMSU 2019-2020
Discussion about this post